Jumat, 30 November 2012

Pemikiran Syi'ah; Sejarah, Politik dan Doktrin Agama


BAB I
PENDAHULUAN

            Dalam hamparan luas lautan sejarah umat Islam, perbedaan pemikiran dan ide yang pada pokoknya disebabkan perbedaan aspirasi politik, terpecah kepada tiga golongan, yaitu Syi’ah, Khawarij, dan Sunni atau yang lebih akrab disapa Ahlussunnah Wa Al-jama’ah. Jika boleh dikatakan, Syia’ah merupakan kelompok sayap kanan, maka Khawarij merupakan kelompok sayap kiri. Mereka sama-sama radikal dan ekstrim serta paradoks antara satu dan lainnya, jika yang satu mengatakan putih maka yag lain akan mengatakan hitam. Berbeda dengan keduanya, Sunni berada di jalur tengah dengan mengkompromikan kedua pemikiran tersebut[1].
            Dari ketiga kelompok senior dalam dalam dunia Islam ini, dengan mengabaikan perpecahan pada masing-masing kelompok, maka Sunnilah yang paling banyak pengikutnya, kemudian Syi’ah dan yang terkecil adalah Khawarij. Kendati tidak sebanyak Sunni dalam jumlah pengikut, bukan berarti keduanya (Syi’ah dan Khawarij) tidak memiliki peran dalam lintas panjang sejarah umat Islam. Keduanya bahkan menambah corak dan warna tersendiri dalam potret Islam dari masa kemasa.
            Karenanya, mengkaji sejarah keduanya menjadi hal yang cukup menarik untuk dilakukan. Selain karena keduanya masih memiliki pengikut hingga saat ini, keduanya juga berasal dari rahim yag sama; yaitu pandangan terhadap sayyidina Ali. Jika Syiah menjadi barisan yang pro dan setia terhadap Ali, Khawarij justru barisan yang memisahkan diri dan kontra terhadap Ali. Selain alasan tersebut, dalam konteks Indonesia, masih cukup segar dalam ingatan ketika media seperti kompak dalam menyoroti tragedi sampang Madura terkait pembantaian kaum syiah. Karenanya, mengkaji Syi’ah dalam berbagai aspek seperti sejarah kelahiran, perkembangan, politik dan teologi menjadi hal yang urgen untuk dilakukan dan diskusikan.

BAB II
PEMBAHASAN


Pengertian Syi’ah
Kata Syi’ah (الشيعة) bentuk tunggalnya adalah Syi’iy (شيعى) yang berarti
Kelompok atau golongan, dapat digunakan untuk seorang, dua orang atau jamak baik pria maupun wanita.[2]
            Sedangkan menurut Ahmad al-Waili, Syiah menurut bahasa adalah pengikut atau pembantu. Pengertian ini sama dengan pengertian yang dikemukan Abd al-Qadir Syihab al-Hamdi guru besar pada Universitas Islam di Madina, yang menyatakan: “Syi’ah dalam percakapan orang arab berarti pengikut atau pembantu.[3]
            Kata Syi’ah Sendiri pernah beberapa kali disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti pada QS al-Shaffat ayat 83.
* žcÎ)ur `ÏB ¾ÏmÏGyèÏ© zNŠÏdºtö/Z} ÇÑÌÈ  
dan Sesungguhnya Ibrahim benar-benar Termasuk golongannya (Nuh).
            Selanjutnya, kata Syi’ah kemudian menjurus kepada sekelompok orang yang menjadi pengikut dan pendukung Ali ibn Abi Thalib ra. Dalam pengertian ini asy-Syahrastani sebagaimana di kutip Nourouzzaman Ash-shiddiqi memberikan batasan bahwa Syi’ah adalah nama kelompok bagi mereka yang menjadi pengikut Ali ra, dan berpendirian bahwa keimanan atau kekhalifahan itu adalah  berdasarkan pengangkatan dan pendelegasian, baik yang dilakukan secara terbuka maupun yang dilakukan secara tersembunyi atau rahasia dan mereka yang percaya bahwa keimaman itu tidaklah terlepas dari anak keturunan Ali ra.[4]
            Dari pengertian tersebut diatas dapat dipahami bahwa Syi’ah adalah golongan atau kelompok fanatic yang mendukung dan mengikuti Ali dan mengaggap bahwa Ali dan keturunannya merupakan harga mati dalam meneruskan kepemimpina pasca meninggalnya Nabi SAW.

B.        Sejarah Kelahiran Syi’ah
            Ide tentang hak Ali dan anak keturunannnya untuk meneruskan estafet kepemimpinan umat Islam sebagai khalifah atau imam pasca wafatnya Nabi telah ada sesa’at setelah wafatnya Nabi. Bagi kaum Syi’ah, pangkal dari kepercayaan tentang sahnya Ali sebagai penerus nabi adalah persitiwa Ghadir Khum.
            Kaum Syiah bekeyakinan bahwa sebenarnya Nabi telah menunjuk calon penggantinya, dan calon tersebut adalah Ali ra. Menurut mereka penunjukan tersebut dilakukan Nabi dalam perjalanannya kembali dari haji Wada’, pada tanggal delapan belas Dzulhijjah tahun kesebelas Hijriah (623 M) di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum (kolam Khum), dimana Nabi telah membuat pernyataan bersejarah yang telah diriwayatkan dalam berbagai versi.[5]
Hadits tentag Ghadir Khum tersebut :
“Kurasa seakan-akan segera akan dipanggil Allah dan segera pula memenuhi paggilan itu. Dan sesungguhnya Aku meningalkan kepadamu al-Tsaqalain, yang satu lebih besar dari yang kedua : yaitu Kitab Allah dan ‘ithoh Ku. Jagalah baik-baik kedua peninggalan-Ku itu, sebab keduanya tak akan terpisah sehingga berkumpul kembali dengan-Ku di al-Haudh. Kemudian beliau berkata lagi, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla adalah maula-Ku, dan Aku adalah maula bagi setiap mukmin. Lalu beliau mengangkat tangan Ali ibn ABi Thalib, dan bersabda; barangsiapa yang menganggap-Ku sebagai pemimpin, maka dia ini (Ali) adalah pemimpin baginya. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.[6]
            Kata maula dan wali dalam hadits diatas memiliki beberapa pengertian seperti : pendukung, penolong, kawan karib, pecinta, pemimpin dan lainnya. Disinilah kemudian perbedaan paham muncul, sebahagian umat yang kemudian disebut Sunni setelah mengakui keshahihan hadits tersebut mengartikan maula sebagai yang dicintai, seperti wali Allah yang berarti dicintai Allah. Dan sebahagian lainnya yang kemudian disebut Syi’ah memandang bahwa maula atau wali dalam hadits tersebut adalah yang memiliki otoritas kekuasaan dan harus di ikuti kepemimpinannya.
            Dengan demikian dapatlah dipahami bila orang-orang Syi’ah begitu meyakini bahwa Ali adalah pemegang tunggal estafet kepemimpinan umat Islam saat itu pasca wafatnya Nabi (12 Rabi’ul awal 10 H / 08 Juni 632 M). namun kenyataannya hal itu tidak langsung terwujud. Setelah terjadinya perdebatan yang sengit di Tsaqifah bani Sa’adah, akhirnya secara aklamasi diambillah suatu kesepakatan, mem-bai’at Abu Bakar sebagai Khalifah dengan pertimbangan senioritas, di mana pada saat itu syarat utama menjadi al-mala’ (DPR) dan Nadi al-qaum adalah minimal berusia 40 tahun. Dalam pertemuan ini, Ali yang oleh Syi’ah di harapkan menjadi Imam justru tidak hadir. Ia tahu persis bahwa Ia tidak akan dipilih karena belum berusia 40 tahun.
            Setelah dua tahun kepemimpinan Abu Bakar (632-634 M), ke-Khalifahan kemudian dijabat Oleh Umar ibn Khattab selama sepuluh tahun sejak 634 M sampai dengan 644 M. dan dilanjutkan oleh Utsman ibn Affan (644-656) hingga kemudian ia wafat terbunuh.
            Setelah wafatnya Utsman, ditengah kegentingan yang terjadi saat itu, orang-orang yang terlibat baik secara langsung maupun tidak terhadap terbunuhnya Utsman menunjuk Ali ibn Abi thalib sebagai Khalifah. Meski sempat menolak dan mengusulkan Talha dan Zubair karna pertimbangan senioritas, Ali akhirnya menerima tawaran/penunjukan itu sehingga kemudian terpilih sebagai Khalifah di hari keenam pasca terbunuhnya Utsman.
            Pada masa-masa awal ke-khalifahannya, Ali langsung dihadapkan kepada berbagai persoalan hingga harus berakhir dengan peperangan, seperti perang Jamal (9 Desember 656 M). Yakni peperangan antara khalifah Ali dengan gabungan pemberontak yang juga di ikuti oleh ‘Aisyah yang menuntut pengusutan kasus terbunuhnya Utsman ra. Selanjutnya pada tanggal 26 juli 657 M, Ali kembali dihadapkan pada peperangan yang dikenal dengan nama perang Siffin, yang mempertemukan kekeuatan Mua’awiyah dan Ali. Dalam perang ini, atas usulan Amr ibn al-Ash, Mu’awwiyah menawarkan perdamaian dengan mengangkat Al-Qur’an, akhirnya perang berhenti. Peristiwa ini disebut tahkim.[7]
            Tawaran Mu’awiyah disambut baik oleh Ali yang kemudian menghentikan perang, padahal pada saat itu Ali dan pasukannya sudah hampir memenangkan peperangan. inilah kemudian yang memicu kekecewaan sebahagian pasukan Ali, hingga akhirnya melahirkan kelompok Khawarij yang dipimpin oleh Abdullah ibn Wahab al-Rasyibi. Dimana selanjutnya kelompok tersebut banyak membuat huruhara, sehingga diambil tindakan oleh Ali untuk memeranginya yang dikenal dengan nama perang Nahrwan, yang berujung pada pembunuhan Ali oleh ibn Muljam pada tanggal 24 Januari 661 M.
            Pasca wafatnya Ali tersebut, terjadilah pertarungan berebut kekuatan politik antara pendukung-pendukung Ali, pendukung Muawiyah, dan barisan yang kontra terhadap keduanya. Pendukung Ali menuntut agar ke-Khalifan tetap di pegang oleh ahli bait, dan untuk merealisasikan itu mereka mengangkat Hasan sebagai Khalifah. Inilah yang mejadi awal doktrin politik Syiah.[8]
            walaupun bibit Syi’ah telah ada saat pemilihan khalifah Abu Bakar namun dalam catatan sejarah Islam, mulai munculnya Syi’ah adalah setelah wafatnya Ali ibn Abi Thalib, dan karena adanya rivalitas politik dari kelompok Khawarij.[9] Selanjutnya, setelah peristiwa dibunuhnya Husain ibn Ali di padang Karbala (10 Okteber 680 M), barulah kemudian Syiah menjelma menjadi sebuah kekuatan politik yang utuh secara “de jure”.
            Dengan demikian jelaslah bahwa awal hadirnya Syi’ah dalam coretan sejarah dimasa lalu tidaklah berciri kepercayaan atau faham agama yang khas seperti Syi’ah yang kita saksikan hari ini. Kehadiran Syiah adalah sebagai respon politik terhadap gerakan politik yang dilacarkan oleh kelompok Khawarij, dan sebagai bentuk sikap dan dukungan orang-orang terhadap Ali yang menurut mereka merupakan pemegang hak tunggal kepemimpinan pasca Nabi. Tetapi setelah periode pertama dari kaum Syi’ah ini berlalu, gerakan Syiah mengalami perkembangan baru dan terjadilah perubahan dalam haluannya.[10] Perkembangan tersebut pada gilirannya membuat Syi’ah terbagi menjadi beberapa bahagian.
  
C.        Kelompok dalam Syi’ah
            Kendati Syi’ah telah terbagi-bagi dalam kelompok yang jumlahnya hampir tidak terhitung, tetapi menurut Al-Baghdawi sebagaimana dikutip M. Qurays Shihab dalam “Syi’ah dan Sunni bergandengan Tangan, Mungkinkah?” mengatakan bahwa secara umum Syi’ah terbagi kepada empat kelompok yang masing-masing terbagi pula kepada kelompok-kelompok kecil.[11] Keempat kelompok tersebut:
Syi’ah Ghulat (ekstrim)
            Syi’ah Ghulat merupakan kelompok yang memiliki sikap berlebihan terhadap Ali, sehingga Ali sampai ditempatkan pada posisi Nabi, atau lebih tinggi dari Nabi, bahkan ada yang menempatkannya sebagai Tuhan.
Kelompok ini terbagi menjadi beberapa bahagian, Pertama As-Sabaiyah: mereka adalah pengikut Abdullah ibn Saba’, yang konon katanya sempat sampai menuhankan Ali. Kedua Al-Khathabiyah: mereka adalah golongan Syi’ah yang menyatakan bahwa Imam Ja’far Ash-Shodiq adalah Tuhan. Ketiga Al-Ghurabiyah: mereka adalah kelompok yang mengutuk malaikat jibril karena menganggapnya telah keliru menyampaikan wahyu kepada Muhammad yang seharusnya diberikan kepada Ali. Keempat Al-Qaramithah: kelompok ini cukup ekstrim, selain karena menuhanan Ali, mereka juga membatalkan kewajiban Sholat dan Puasa Ramadhan.
Syi’ah Ismailiyah
            Kelompok ini meyakini bahwa Ismail, putra Imam Ja’far ash-Shadiq, adalah imam yang menggantikan ayahnya, yang merupakan imam keenam dari aliran Syi’ah secara umum.[12]
Az-Zaidiyah
            Kelompok ini adalah kelompok Syi’ah pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Syi’ah Zaidiyah menetapkan bahwa Imamah dapat diemban oleh siapapun yang memiliki garis keturunan Fathimah binti Muhammad SAW. Baik dari garis Hasan, maupun Husain, dengan catatan harus memiliki kemampuan, keilmuan dan keberanian dalam mengangkat senjata melawan kezaliman.
Syi’ah Itsna Asy’ari
            Kelompok ini ialah mereka yang mempercayai akan adanya duabelas orang imam yang kesemuanya dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra, putrid Rasulullah SAW. Kelompok ini merupakan kelompok Syi’ah mayoritas yang tersebar di Iran, Irak serta ditemukan juga dibeberapa daerah di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, juga disaudi Arabia, dan beberapa daerah bekas Uni Soviet.[13]

D.        Teori Politik dan Doktrin Agama syi’ah
            Dalam kajian sejarah pemikiran Islam, sulit rasanya untuk membicarakan secara terpisah antara teori politik dan doktrin agama. Sebab Islam itu sendiri tidak mengenal pemisahan antara keduanya. Dalam rentetan panjang sejarah islam, interaksi antara keduanya sangat erat, terkhusus bagi Syi’ah. Sebab Syi’ah selalu berupaya keras mencari dukungan agama untuk mendukung teori politik yang mereka anut.
            Dalam masalah kepemimpinan, Syi’ah menganut teori hak legitimasi berdasarkan hak suci Tuhan. Dan tuhan telah mendelegasikan hak suci-Nya kepada para nabi, dan nabi Muhammad telah mewasiatkannya kepada Ali, maka Ali lah pemegang hak penuh atas kepemimpinan pasca Nabi. Imam atau Khalifah perspektif Syi’ah bukanlah sebatas kelayakan politik semata, namun imam adalah kepentingan agama. Menurut mereka kekhalifahan adalah satu rukun agama yang fundamental yang disejajarkan urgensitasnya dengan al-Qur’an dan Sunnah.
            Mengingat kedudukan imam/khalifah yang begitu mulia dan agung, penting serta tinggi, maka menurut kepercayaan orang-orang Syi’ah, tidaklah sepantasnya masalah pemilihan dan pengangkatannya dipercayakan pada orang banyak yang bukan Nabi, atau orang pilihan Nabi, tetapi haruslah diangkat oleh Tuhan melalui Nabi, atau melalui Ali, atau oleh seorang Imam yang mendahului sebagai pemangku hak suci. Dengan demikian, menurut Syi’ah pengangkatan Imam itu adalah hak suci Tuhan, bukan berdasarkan prinsip pemilihan demokratis. Bahkan pada golongna Syi’ah waqifiyah berpendirian bahwa, bukan saja seorang imam itu diangkat oleh imam sebelumnya, bahkan ruh imam yang sebelumnya itu berpindah ke diri imam yang diangkatnya.
            Kendati demikian, tidak semua golongan Syi’ah sependapat dengan doktrin agama tentang keimaman seperti tersebut diatas, golongan zaidiyah menolak doktrin nash-washiyat. Mereka (Syi’ah Zaidiyah) berpendapat bahwa, imam itu harus dipilih berdasarkan criteria, berilmu, bertaqwa, murah tangan, berani dan berhasrat untuk menjabat posisi imam, dengan catatan orang tersebut masih berada dibawah garis keturunan Ali ibn Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra binti Muhammad SAW.
            Selanjutnya, Untuk mendudukkan Syi’ah dalam koridor yang ada maka perlu dikemukakan doktrin keagamaan yang ada dan di anut dalam tradisi Syi’ah. Dari konteks keagamaan inilah kemudian diturunkan ke dalam konteks sosial seperti politik dan lainnya. Doktrin ke-agamaan tersebut:
Imamah
            Doktrin Syi‘ah tentang Imamah, berangkat dari keyakinan akan penunjukan Nabi atas diri ‘Ali sebagai khalifah penggantinya dengan penunjukan yang jelas berdasarkan hadits ghadir khum. Di dalamnya termaktub adanya fungsi spiritual dalam diri penerus Nabi dari kalangan ahl al-bait yang berhubungan dengan penafsiran esoterik tentang wahyu dan kelangsungan ajaran esoterik Nabi.
            Dalil dan paham Imamah didasarkan pada  Q.S. Yunus (10): 35. Q.S. al-Maidah 5: 55). Adapun hadis yang menjadi dasar doktrin imamah adalah hadis ghadir khum yang dikumandangkan Nabi ketika haji wada’, yang dikutip langsung sebagai dalil untuk mendukung hak ‘Ali atas khilafah. Doktrin Imamah juga dipahami sebagai contoh dari upaya awal untuk merumuskan struktur politik dalam kerangka hukum, serta memberikan suatu teori politik yang koheren. Akan tetapi, prinsip dasar tentang suksesi yang dikemukakan oleh doktrin ini tidak pernah diterima secara universal, dan tetap menjadi harapan eskatologis yang tak realistik.

Mahdiisme
Dalam akidah Syiah, kemunculan Imam Mahdi adalah permasalahan yang sudah pasti, persis dengan ungkapan akan munculnya Yaum al-Mau’ud (hari kiamat). Hari yang dijanjikan dengan kemunculan Imam Mahdi adalah langkah awal untuk menuju hari akhir yang telah dijanjikan Allah.
Gagasan tentang Mahdi tidak semata-mata dimonopoli oleh Islam, meskipun nama Mahdi itu merupakan nama Islam. Memang, gagasan tentang penyelamat terakhir merupakan suatu gagasan yang usianya setua agama itu sendiri. Seperti dikutip oleh Henry Corbin, bahwa esoterisme Syi‘ah mengajarkan hierarki mistis yang tidak kasatmata. Ide dasarnya yang paling khas adalah gaiban (gaybah) atau absennya imam.
Muhammad al-Mahdi, dipercaya golongan ini diberikan Tuhan kehidupan panjang sampai akhir dunia, tetapi ia berada dalam alam gaib. Imam Mahdi hidup sebagaimana Elijah, yang menurut kepercayaan Yahudi diangkat ke surga dan hidup di sana. Pada akhirnya, perdebatan mengenai kemunculan al-Mahdi mendorong para pemikir dan agamawan untuk memberikan penafsiran tentang Mahdi atau Messiah “Sang Juru Selamat“. Di antara tanda-tanda kemunculannya adalah ketika bumi ini telah dipenuhi dengan kerusakan, kebobrokan, ketidakadilan dan penindasan yang merajalela. Kemunculan al-Mahdi akan memenuhi bumi dengan keadilan dan persamaan (hak), dan penegakan moral.
Ishmah.
Dalam Syi‘ah, seorang Imam mempunyai tingkatan kemaksuman. Ia haruslah seseorang yang memiliki sifat maksum, karena seorang yang mendapat tugas membawa amanat Allah Swt., jika tidak bersifat maksum maka akan timbul keraguan atas kebenaran risalah atau amanah yang dibawanya.
Doktrin ishmah merupakan proses pengembangbiakan dari hadis Gadir Khumm. Ajaran ini berkenaan dengan prasyarat imamah yang menyatakan, bahwa seorang Imam sama sekali tidak dapat dicela, sifat dan tindakan-tindakannya menempatkan ia di atas derajat orang-orang biasa. Dia merupakan legislator sekaligus eksekutor, tetapi tindakannya tidak pernah dipertanyakan. Dia adalah tolak ukur baik dan buruk, apa yang dilakukannya adalah baik, apa yang dilarangnya adalah buruk. Ia merupakan pemimpin rohani sejati, kewenangan rohaninya mengungguli kewenangan Paus dalam gereja Katholik.
Dengan kata lain, bahwa seorang imam adalah orang yang menjalankan fungsi wilayah, mempertahankan dan menjamin kesinambungan hukum agama dengan bantuan cahaya ke-Tuhanan dalam dirinya. Oleh karena itu, sebagai akibat dari adanya cahaya ke-Tuhanan dalam dirinya, imam mempunyai potensi untuk tidak melakukan kesalahan dalam soal-soal spiritual dan keagamaan.
Taqiyyah
Secara etimologi, kata taqiyyah berasal dari bahasa Arab, dari akar kata waqa-yaqi yang berarti melindungi atau menjaga diri. Dari terjemahan tersebut, maka praktek taqiyyah diartikan dengan seseorang yang menyembunyikan agamanya atau beberapa praktek tertentu dari agamanya dalam keadaan yang mungkin atau pasti akan menimbulkan bahaya sebagai akibat tindakan-tindakan dari orang-orang yang menentang agamanya atau praktek-praktek keagamaan tertentu.
Dalam prakteknya, kadang taqiyyah telah menjadi norma atau perilaku umum setiap kali terjadi konflik antara iman dan kebutuhan. Kaum modernis Syi‘ah menyatakan, bahwa taqiyyah kadang-kadang merosot menjadi dalih bagi kemunafikan dan kepengecutan yang nyata.
Marja’iyyah
Marja’iyyah, yang kemudian menjelma ke dalam Wilayat al-Faqih, merupakan sebuah doktrin keagamaan yang juga menduduki posisi sentral dalam Syi‘ah. Karena doktrin tersebut nantinya akan menentukan bagaimana masyarakat akan menjalani sebuah pemahaman keagamaan, baik yang bersifat ta’abbudi maupun i’tiqadi.
Konsep Marja’iyyah ialah proses pelimpahan tanggungjawab kepemimpinan kepada para fuqaha yang bersifat adil dan mempunyai kemampuan memimpin dari Imam Mahdi. Dalam hal ini, setiap orang Syi‘ah yang tidak mampu mengambil kesimpulan hukum dalam permasalahan keagamaan sehari-hari harus merujuk kepada orang yang lebih tahu, yaitu para Ulama atau Fuqaha. Hal ini disebabkan karena para Fuqaha merupakan penerus kepemimpinan Imam Mahdi selama masa kegaibannya. Maka, wewenang atau kekuasaan yang dimiliki fuqaha terhadap umat sangat besar.
Doktrin keagamaan dalam Syi‘ah sebagaimana tersebut, selanjutnya  termanifestasikan dalam ranah kehidupan dengan berbagai aspeknya yang kemudian menghasilkan warna tersendiri bagi Syi’ah baik dalam hal politik, maupun dalam aktivitas dan ritual keagamaannya.

E.         Dinasti pendukung kekuasaan politik Syi’ah
Dalam perjalanan panjangnya, Syi’ah baik sebagai idiologi agama terlebih sebagai kekuatan politik bisa selamat dan berhasil merebak ke berbagai kolong langit, tak terlepas dari adanya dinasti-dinasti yang mendukung eksistensinya. Setidaknya, ada enam dinasti (Idrisiyyah, Fathimiyyah, zaidiyyah, buwaihiyyah, Shafawi, dan Qajar) yang menjadi pendukungnya. Berikut akan sedikit diperkenalkan ke-enam dinasti tersebut.
Dinasti Idrisiyah (789-926)[14]
Dinasti ini berkedudukan di Maroko yang didirikan oleh Muhammad bin Idris. Idris adalah cicit dari Hasa ibn Ali ibn Abi Thalib dan seorang yang beraliran Syi’ah dan memperkenalkan aliran Syi’ah melalui dinastinya. Dinasti ini sempat berkuasa dibawah pimpinan 10 orang yang dimulai dari Muhammad Idris, dan di akhiri oleh Hasan al- Hajjam.
Dinasti Fathimiyyah (909-1171)[15]
            Dalam masa berikutnya, muncul dinasti Fathimiyah dikawasan Afrika, Mesir dan Syiria. Fathimiyah adalah sekte Syiah Imamiyah yang menisbikan kecintaannya pada isteri Ali, Fathimah az-Zahra. Berbeda dengan Syi’ah lainnya yang menggunakan panggilan Imam bagi pemimpinnya, Fathimiyah justru menggunakan istilah Khalifah bagi para pemimpinnya.
            Dinasti Fathimiyyah menjadikan Kairo sebagai ibukota, dimasa Khalifah Mu’iz Lidinillah (953-975). Di kota ini telah didirkan sebuah masjid jami’ yang kemudian berkembang hingga hari ini menjadi Universitas Al-Azhar.
Dinasti Zaidiyyah (893-1962)[16]
            Zaidiyyah adalah cabang Syi’ah yang berbeda dengan lainnya dan di anggap lebih moderat, bahkan dikatakan lebih mendekati Sunni meskipun dalam hal mazhab, mereka mempunyai mazhab sendiri.
            Meskipun rincian awal sejarahnya tak jelas, namun masih dapat diketahui bahwa kekuatan politik kelompok z#aidyyah yang mandiri untuk pertama-tama dibangun ketika al-Hasan bin Zaid mendirikan Negara di Iran Utara.
Dinasti Buwaihiyyah (932-1062)[17]
 Dinasti ini memiliki wilayah yang sangat luas di Persia. Dinasti ini berasal dari tiga bersaudara, Ahmad, Ali dan Hasan anak dari Abu Suja’ Buwaih. Dimasa kekuasan bani buwaihi yang beraliran Syi’ah ini, Baghdad dijadikan sebagai pusat pemerintahan dengan membangun gedung-gedung tersendiri yang diberi nama darul mahkamah.
Dinasti Shafawi (1501-1732)
Pada mulanya sekte ini adalah suatu thariqat sufi yang bergabung dengan Syi’ah Imam duabelas. Dinasti ini berada di Azerbaijan yang didirikan oleh Ismail pada tahun 1500 dalam usia belia 16 tahun, ia menggantikan system pir (hirarki sufisme) dari thariqat kala itu. Pada tahun 1501 Ia menakhlukkan Tabriz, dan kemudian di ikuti dengan daerah lainnya pada decade berikutnya. Dia (ismail) mengatakan bahwa Syi’ah Imam duabelas akan menjadi agama resmi kerajaan barunya.
Dinasti Qajar (1796-1925)
Dinasti Qajar merupakan yang terakhir dari serangkaian dinasti kesukuan yang memerintah Iran sejak abad kesepuluh. Nama Qajar di ambil dari nama tokoh mereka yaitu Qajar Noyan, putra dari Sertaq Noyan. Dinasti Qajar telah memainkan peran penting dalam mengenalkan program meodernisasi, baik di bidang pendidikan, politik, ekonomi, maupun militer,  dan berandil besar dalam terbentuknya Iran.

BAB III
KESIMPULAN

            Syi’ah adalah golongan atau kelompok fanatic yang mendukung dan mengikuti Ali dan mengaggap bahwa Ali dan keturunannya merupakan harga mati dalam meneruskan kepemimpinan pasca meninggalnya nabi SAW.
            Awal hadirnya Syi’ah dalam coretan sejarah dimasa lalu tidaklah berciri kepercayaan atau faham agama yang khas seperti Syi’ah yang kita saksikan hari ini. Kehadiran Syiah adalah sebagai respon politik terhadap gerakan politik yang dilacarkan oleh kelompok Khawarij, dan sebagai bentuk sikap dan dukungan orang-orang terhadap Ali yang menurut mereka merupakan pemegang hak tunggal kepemimpinan pasca Nabi. Tetapi setelah periode pertama dari kaum Syi’ah ini berlalu, gerakan Syiah mengalami perkembangan baru dan terjadilah perubahan dalam haluannya. Perkembangan tersebut pada gilirannya membuat Syi’ah terbagi menjadi beberapa bahagian.
            secara umum Syi’ah terbagi kepada empat kelompok yang masing-masing terbagi pula kepada kelompok-kelompok kecil. Keempat kelompok tersebut: Syi’ah Ghulat, Syi’ah Ismailiyah, Az-Zaidiyah, Syi’ah Itsna Asy’ari.
            Dalam masalah kepemimpinan, Syi’ah menganut teori hak legitimasi berdasarkan hak suci Tuhan. Menurut mereka kekhalifahan adalah satu rukun agama yang fundamental yang disejajarkan urgensitasnya dengan al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan dalam masalah agama, Syi’ah memiliki doktrin-doktrin yang membedakannya dari yang lain, doktrin tersebut; Imamah, Mahdiisme,Ishmah, Taqiyyah, dan Marja’iyyah
            Dalam perjalanan panjangnya, eksistensi Syi’ah dipanggung sejarah hingga bisa terus hidup sampai hari ini tak lepas dari dukungan enam dinasti (Idrisiyyah, Fathimiyyah, zaidiyyah, buwaihiyyah, Shafawi, dan Qajar).

DAFTAR PUSTAKA

Fadli Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah, (Malang: UIN MALIKI PRES, 2010).
Ihsan Ilahi Zhahier, Sejarah Perttumbuhan dan Perkembangan Gerakan Syi’ah,  (Bandung: Ma’arif, 1985).
M. Abdul Karim, Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Bagaskara, 2012- cet.ke-IV).
Muhammad Baharun,  Epistemologi Antagonisme Syi’ah, (Malang; Pustaka Bayan, 2004)
M. Qurays Shihab, Syi’ah dan Sunni Bergandengan Tangan, Mungkinkah?, (Jakarta; Lentera Hati, 2007).
Nourouzzaman Shiddiqi, Drs, MA, Syi’ah dan Khawarij Dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta: PLP2M, 1985).



[1] Nourouzzaman Shiddiqi, Drs, MA, Syi’ah dan Khawarij Dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), cet. ke-1, hlm. 2.
[2] Fadli Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah, (Malang: UIN MALIKI PRES, 2010), hlm. 19.
[3] Ibid.
[4] Nourouzzaman, Syi’ah, hlm. 6.
[5] Ja’fari, Syi’ah, hlm. 27.
[6] Ibid, hlm. 28.
[7] M. Abdul Karim, Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Bagaskara, 2012- cet.ke-IV), hlm. 107.
[8] Nourouzzaman, Syi’ah, hlm. 10.
[9] Karim, Sejarah, hlm. 109.
[10] Ihsan Ilahi Zhahier, Sejarah Perttumbuhan dan Perkembangan Gerakan Syi’ah, (Bandung: Ma’arif, 1985), hlm. 43.
[11] M. Qurays Shihab, Syi’ah dan Sunni Bergandengan Tangan, Mungkinkah?, (Jakarta; Lentera Hati, 2007), hlm. 69-70.
[12] Ibud, hlm. 72.
[13] Ibid, hlm. 83.
[14] Muhammad Baharun,  Epistemologi Antagonisme Syi’ah, (Malang; Pustaka Bayan, 2004), hlm. 60.
[15] Ibid.
[16] Ibid. hlm 66.
[17] Ibid, hlm. 69.

Jumat, 30 November 2012

Pemikiran Syi'ah; Sejarah, Politik dan Doktrin Agama


BAB I
PENDAHULUAN

            Dalam hamparan luas lautan sejarah umat Islam, perbedaan pemikiran dan ide yang pada pokoknya disebabkan perbedaan aspirasi politik, terpecah kepada tiga golongan, yaitu Syi’ah, Khawarij, dan Sunni atau yang lebih akrab disapa Ahlussunnah Wa Al-jama’ah. Jika boleh dikatakan, Syia’ah merupakan kelompok sayap kanan, maka Khawarij merupakan kelompok sayap kiri. Mereka sama-sama radikal dan ekstrim serta paradoks antara satu dan lainnya, jika yang satu mengatakan putih maka yag lain akan mengatakan hitam. Berbeda dengan keduanya, Sunni berada di jalur tengah dengan mengkompromikan kedua pemikiran tersebut[1].
            Dari ketiga kelompok senior dalam dalam dunia Islam ini, dengan mengabaikan perpecahan pada masing-masing kelompok, maka Sunnilah yang paling banyak pengikutnya, kemudian Syi’ah dan yang terkecil adalah Khawarij. Kendati tidak sebanyak Sunni dalam jumlah pengikut, bukan berarti keduanya (Syi’ah dan Khawarij) tidak memiliki peran dalam lintas panjang sejarah umat Islam. Keduanya bahkan menambah corak dan warna tersendiri dalam potret Islam dari masa kemasa.
            Karenanya, mengkaji sejarah keduanya menjadi hal yang cukup menarik untuk dilakukan. Selain karena keduanya masih memiliki pengikut hingga saat ini, keduanya juga berasal dari rahim yag sama; yaitu pandangan terhadap sayyidina Ali. Jika Syiah menjadi barisan yang pro dan setia terhadap Ali, Khawarij justru barisan yang memisahkan diri dan kontra terhadap Ali. Selain alasan tersebut, dalam konteks Indonesia, masih cukup segar dalam ingatan ketika media seperti kompak dalam menyoroti tragedi sampang Madura terkait pembantaian kaum syiah. Karenanya, mengkaji Syi’ah dalam berbagai aspek seperti sejarah kelahiran, perkembangan, politik dan teologi menjadi hal yang urgen untuk dilakukan dan diskusikan.

BAB II
PEMBAHASAN


Pengertian Syi’ah
Kata Syi’ah (الشيعة) bentuk tunggalnya adalah Syi’iy (شيعى) yang berarti
Kelompok atau golongan, dapat digunakan untuk seorang, dua orang atau jamak baik pria maupun wanita.[2]
            Sedangkan menurut Ahmad al-Waili, Syiah menurut bahasa adalah pengikut atau pembantu. Pengertian ini sama dengan pengertian yang dikemukan Abd al-Qadir Syihab al-Hamdi guru besar pada Universitas Islam di Madina, yang menyatakan: “Syi’ah dalam percakapan orang arab berarti pengikut atau pembantu.[3]
            Kata Syi’ah Sendiri pernah beberapa kali disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti pada QS al-Shaffat ayat 83.
* žcÎ)ur `ÏB ¾ÏmÏGyèÏ© zNŠÏdºtö/Z} ÇÑÌÈ  
dan Sesungguhnya Ibrahim benar-benar Termasuk golongannya (Nuh).
            Selanjutnya, kata Syi’ah kemudian menjurus kepada sekelompok orang yang menjadi pengikut dan pendukung Ali ibn Abi Thalib ra. Dalam pengertian ini asy-Syahrastani sebagaimana di kutip Nourouzzaman Ash-shiddiqi memberikan batasan bahwa Syi’ah adalah nama kelompok bagi mereka yang menjadi pengikut Ali ra, dan berpendirian bahwa keimanan atau kekhalifahan itu adalah  berdasarkan pengangkatan dan pendelegasian, baik yang dilakukan secara terbuka maupun yang dilakukan secara tersembunyi atau rahasia dan mereka yang percaya bahwa keimaman itu tidaklah terlepas dari anak keturunan Ali ra.[4]
            Dari pengertian tersebut diatas dapat dipahami bahwa Syi’ah adalah golongan atau kelompok fanatic yang mendukung dan mengikuti Ali dan mengaggap bahwa Ali dan keturunannya merupakan harga mati dalam meneruskan kepemimpina pasca meninggalnya Nabi SAW.

B.        Sejarah Kelahiran Syi’ah
            Ide tentang hak Ali dan anak keturunannnya untuk meneruskan estafet kepemimpinan umat Islam sebagai khalifah atau imam pasca wafatnya Nabi telah ada sesa’at setelah wafatnya Nabi. Bagi kaum Syi’ah, pangkal dari kepercayaan tentang sahnya Ali sebagai penerus nabi adalah persitiwa Ghadir Khum.
            Kaum Syiah bekeyakinan bahwa sebenarnya Nabi telah menunjuk calon penggantinya, dan calon tersebut adalah Ali ra. Menurut mereka penunjukan tersebut dilakukan Nabi dalam perjalanannya kembali dari haji Wada’, pada tanggal delapan belas Dzulhijjah tahun kesebelas Hijriah (623 M) di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum (kolam Khum), dimana Nabi telah membuat pernyataan bersejarah yang telah diriwayatkan dalam berbagai versi.[5]
Hadits tentag Ghadir Khum tersebut :
“Kurasa seakan-akan segera akan dipanggil Allah dan segera pula memenuhi paggilan itu. Dan sesungguhnya Aku meningalkan kepadamu al-Tsaqalain, yang satu lebih besar dari yang kedua : yaitu Kitab Allah dan ‘ithoh Ku. Jagalah baik-baik kedua peninggalan-Ku itu, sebab keduanya tak akan terpisah sehingga berkumpul kembali dengan-Ku di al-Haudh. Kemudian beliau berkata lagi, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla adalah maula-Ku, dan Aku adalah maula bagi setiap mukmin. Lalu beliau mengangkat tangan Ali ibn ABi Thalib, dan bersabda; barangsiapa yang menganggap-Ku sebagai pemimpin, maka dia ini (Ali) adalah pemimpin baginya. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.[6]
            Kata maula dan wali dalam hadits diatas memiliki beberapa pengertian seperti : pendukung, penolong, kawan karib, pecinta, pemimpin dan lainnya. Disinilah kemudian perbedaan paham muncul, sebahagian umat yang kemudian disebut Sunni setelah mengakui keshahihan hadits tersebut mengartikan maula sebagai yang dicintai, seperti wali Allah yang berarti dicintai Allah. Dan sebahagian lainnya yang kemudian disebut Syi’ah memandang bahwa maula atau wali dalam hadits tersebut adalah yang memiliki otoritas kekuasaan dan harus di ikuti kepemimpinannya.
            Dengan demikian dapatlah dipahami bila orang-orang Syi’ah begitu meyakini bahwa Ali adalah pemegang tunggal estafet kepemimpinan umat Islam saat itu pasca wafatnya Nabi (12 Rabi’ul awal 10 H / 08 Juni 632 M). namun kenyataannya hal itu tidak langsung terwujud. Setelah terjadinya perdebatan yang sengit di Tsaqifah bani Sa’adah, akhirnya secara aklamasi diambillah suatu kesepakatan, mem-bai’at Abu Bakar sebagai Khalifah dengan pertimbangan senioritas, di mana pada saat itu syarat utama menjadi al-mala’ (DPR) dan Nadi al-qaum adalah minimal berusia 40 tahun. Dalam pertemuan ini, Ali yang oleh Syi’ah di harapkan menjadi Imam justru tidak hadir. Ia tahu persis bahwa Ia tidak akan dipilih karena belum berusia 40 tahun.
            Setelah dua tahun kepemimpinan Abu Bakar (632-634 M), ke-Khalifahan kemudian dijabat Oleh Umar ibn Khattab selama sepuluh tahun sejak 634 M sampai dengan 644 M. dan dilanjutkan oleh Utsman ibn Affan (644-656) hingga kemudian ia wafat terbunuh.
            Setelah wafatnya Utsman, ditengah kegentingan yang terjadi saat itu, orang-orang yang terlibat baik secara langsung maupun tidak terhadap terbunuhnya Utsman menunjuk Ali ibn Abi thalib sebagai Khalifah. Meski sempat menolak dan mengusulkan Talha dan Zubair karna pertimbangan senioritas, Ali akhirnya menerima tawaran/penunjukan itu sehingga kemudian terpilih sebagai Khalifah di hari keenam pasca terbunuhnya Utsman.
            Pada masa-masa awal ke-khalifahannya, Ali langsung dihadapkan kepada berbagai persoalan hingga harus berakhir dengan peperangan, seperti perang Jamal (9 Desember 656 M). Yakni peperangan antara khalifah Ali dengan gabungan pemberontak yang juga di ikuti oleh ‘Aisyah yang menuntut pengusutan kasus terbunuhnya Utsman ra. Selanjutnya pada tanggal 26 juli 657 M, Ali kembali dihadapkan pada peperangan yang dikenal dengan nama perang Siffin, yang mempertemukan kekeuatan Mua’awiyah dan Ali. Dalam perang ini, atas usulan Amr ibn al-Ash, Mu’awwiyah menawarkan perdamaian dengan mengangkat Al-Qur’an, akhirnya perang berhenti. Peristiwa ini disebut tahkim.[7]
            Tawaran Mu’awiyah disambut baik oleh Ali yang kemudian menghentikan perang, padahal pada saat itu Ali dan pasukannya sudah hampir memenangkan peperangan. inilah kemudian yang memicu kekecewaan sebahagian pasukan Ali, hingga akhirnya melahirkan kelompok Khawarij yang dipimpin oleh Abdullah ibn Wahab al-Rasyibi. Dimana selanjutnya kelompok tersebut banyak membuat huruhara, sehingga diambil tindakan oleh Ali untuk memeranginya yang dikenal dengan nama perang Nahrwan, yang berujung pada pembunuhan Ali oleh ibn Muljam pada tanggal 24 Januari 661 M.
            Pasca wafatnya Ali tersebut, terjadilah pertarungan berebut kekuatan politik antara pendukung-pendukung Ali, pendukung Muawiyah, dan barisan yang kontra terhadap keduanya. Pendukung Ali menuntut agar ke-Khalifan tetap di pegang oleh ahli bait, dan untuk merealisasikan itu mereka mengangkat Hasan sebagai Khalifah. Inilah yang mejadi awal doktrin politik Syiah.[8]
            walaupun bibit Syi’ah telah ada saat pemilihan khalifah Abu Bakar namun dalam catatan sejarah Islam, mulai munculnya Syi’ah adalah setelah wafatnya Ali ibn Abi Thalib, dan karena adanya rivalitas politik dari kelompok Khawarij.[9] Selanjutnya, setelah peristiwa dibunuhnya Husain ibn Ali di padang Karbala (10 Okteber 680 M), barulah kemudian Syiah menjelma menjadi sebuah kekuatan politik yang utuh secara “de jure”.
            Dengan demikian jelaslah bahwa awal hadirnya Syi’ah dalam coretan sejarah dimasa lalu tidaklah berciri kepercayaan atau faham agama yang khas seperti Syi’ah yang kita saksikan hari ini. Kehadiran Syiah adalah sebagai respon politik terhadap gerakan politik yang dilacarkan oleh kelompok Khawarij, dan sebagai bentuk sikap dan dukungan orang-orang terhadap Ali yang menurut mereka merupakan pemegang hak tunggal kepemimpinan pasca Nabi. Tetapi setelah periode pertama dari kaum Syi’ah ini berlalu, gerakan Syiah mengalami perkembangan baru dan terjadilah perubahan dalam haluannya.[10] Perkembangan tersebut pada gilirannya membuat Syi’ah terbagi menjadi beberapa bahagian.
  
C.        Kelompok dalam Syi’ah
            Kendati Syi’ah telah terbagi-bagi dalam kelompok yang jumlahnya hampir tidak terhitung, tetapi menurut Al-Baghdawi sebagaimana dikutip M. Qurays Shihab dalam “Syi’ah dan Sunni bergandengan Tangan, Mungkinkah?” mengatakan bahwa secara umum Syi’ah terbagi kepada empat kelompok yang masing-masing terbagi pula kepada kelompok-kelompok kecil.[11] Keempat kelompok tersebut:
Syi’ah Ghulat (ekstrim)
            Syi’ah Ghulat merupakan kelompok yang memiliki sikap berlebihan terhadap Ali, sehingga Ali sampai ditempatkan pada posisi Nabi, atau lebih tinggi dari Nabi, bahkan ada yang menempatkannya sebagai Tuhan.
Kelompok ini terbagi menjadi beberapa bahagian, Pertama As-Sabaiyah: mereka adalah pengikut Abdullah ibn Saba’, yang konon katanya sempat sampai menuhankan Ali. Kedua Al-Khathabiyah: mereka adalah golongan Syi’ah yang menyatakan bahwa Imam Ja’far Ash-Shodiq adalah Tuhan. Ketiga Al-Ghurabiyah: mereka adalah kelompok yang mengutuk malaikat jibril karena menganggapnya telah keliru menyampaikan wahyu kepada Muhammad yang seharusnya diberikan kepada Ali. Keempat Al-Qaramithah: kelompok ini cukup ekstrim, selain karena menuhanan Ali, mereka juga membatalkan kewajiban Sholat dan Puasa Ramadhan.
Syi’ah Ismailiyah
            Kelompok ini meyakini bahwa Ismail, putra Imam Ja’far ash-Shadiq, adalah imam yang menggantikan ayahnya, yang merupakan imam keenam dari aliran Syi’ah secara umum.[12]
Az-Zaidiyah
            Kelompok ini adalah kelompok Syi’ah pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Syi’ah Zaidiyah menetapkan bahwa Imamah dapat diemban oleh siapapun yang memiliki garis keturunan Fathimah binti Muhammad SAW. Baik dari garis Hasan, maupun Husain, dengan catatan harus memiliki kemampuan, keilmuan dan keberanian dalam mengangkat senjata melawan kezaliman.
Syi’ah Itsna Asy’ari
            Kelompok ini ialah mereka yang mempercayai akan adanya duabelas orang imam yang kesemuanya dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra, putrid Rasulullah SAW. Kelompok ini merupakan kelompok Syi’ah mayoritas yang tersebar di Iran, Irak serta ditemukan juga dibeberapa daerah di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, juga disaudi Arabia, dan beberapa daerah bekas Uni Soviet.[13]

D.        Teori Politik dan Doktrin Agama syi’ah
            Dalam kajian sejarah pemikiran Islam, sulit rasanya untuk membicarakan secara terpisah antara teori politik dan doktrin agama. Sebab Islam itu sendiri tidak mengenal pemisahan antara keduanya. Dalam rentetan panjang sejarah islam, interaksi antara keduanya sangat erat, terkhusus bagi Syi’ah. Sebab Syi’ah selalu berupaya keras mencari dukungan agama untuk mendukung teori politik yang mereka anut.
            Dalam masalah kepemimpinan, Syi’ah menganut teori hak legitimasi berdasarkan hak suci Tuhan. Dan tuhan telah mendelegasikan hak suci-Nya kepada para nabi, dan nabi Muhammad telah mewasiatkannya kepada Ali, maka Ali lah pemegang hak penuh atas kepemimpinan pasca Nabi. Imam atau Khalifah perspektif Syi’ah bukanlah sebatas kelayakan politik semata, namun imam adalah kepentingan agama. Menurut mereka kekhalifahan adalah satu rukun agama yang fundamental yang disejajarkan urgensitasnya dengan al-Qur’an dan Sunnah.
            Mengingat kedudukan imam/khalifah yang begitu mulia dan agung, penting serta tinggi, maka menurut kepercayaan orang-orang Syi’ah, tidaklah sepantasnya masalah pemilihan dan pengangkatannya dipercayakan pada orang banyak yang bukan Nabi, atau orang pilihan Nabi, tetapi haruslah diangkat oleh Tuhan melalui Nabi, atau melalui Ali, atau oleh seorang Imam yang mendahului sebagai pemangku hak suci. Dengan demikian, menurut Syi’ah pengangkatan Imam itu adalah hak suci Tuhan, bukan berdasarkan prinsip pemilihan demokratis. Bahkan pada golongna Syi’ah waqifiyah berpendirian bahwa, bukan saja seorang imam itu diangkat oleh imam sebelumnya, bahkan ruh imam yang sebelumnya itu berpindah ke diri imam yang diangkatnya.
            Kendati demikian, tidak semua golongan Syi’ah sependapat dengan doktrin agama tentang keimaman seperti tersebut diatas, golongan zaidiyah menolak doktrin nash-washiyat. Mereka (Syi’ah Zaidiyah) berpendapat bahwa, imam itu harus dipilih berdasarkan criteria, berilmu, bertaqwa, murah tangan, berani dan berhasrat untuk menjabat posisi imam, dengan catatan orang tersebut masih berada dibawah garis keturunan Ali ibn Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra binti Muhammad SAW.
            Selanjutnya, Untuk mendudukkan Syi’ah dalam koridor yang ada maka perlu dikemukakan doktrin keagamaan yang ada dan di anut dalam tradisi Syi’ah. Dari konteks keagamaan inilah kemudian diturunkan ke dalam konteks sosial seperti politik dan lainnya. Doktrin ke-agamaan tersebut:
Imamah
            Doktrin Syi‘ah tentang Imamah, berangkat dari keyakinan akan penunjukan Nabi atas diri ‘Ali sebagai khalifah penggantinya dengan penunjukan yang jelas berdasarkan hadits ghadir khum. Di dalamnya termaktub adanya fungsi spiritual dalam diri penerus Nabi dari kalangan ahl al-bait yang berhubungan dengan penafsiran esoterik tentang wahyu dan kelangsungan ajaran esoterik Nabi.
            Dalil dan paham Imamah didasarkan pada  Q.S. Yunus (10): 35. Q.S. al-Maidah 5: 55). Adapun hadis yang menjadi dasar doktrin imamah adalah hadis ghadir khum yang dikumandangkan Nabi ketika haji wada’, yang dikutip langsung sebagai dalil untuk mendukung hak ‘Ali atas khilafah. Doktrin Imamah juga dipahami sebagai contoh dari upaya awal untuk merumuskan struktur politik dalam kerangka hukum, serta memberikan suatu teori politik yang koheren. Akan tetapi, prinsip dasar tentang suksesi yang dikemukakan oleh doktrin ini tidak pernah diterima secara universal, dan tetap menjadi harapan eskatologis yang tak realistik.

Mahdiisme
Dalam akidah Syiah, kemunculan Imam Mahdi adalah permasalahan yang sudah pasti, persis dengan ungkapan akan munculnya Yaum al-Mau’ud (hari kiamat). Hari yang dijanjikan dengan kemunculan Imam Mahdi adalah langkah awal untuk menuju hari akhir yang telah dijanjikan Allah.
Gagasan tentang Mahdi tidak semata-mata dimonopoli oleh Islam, meskipun nama Mahdi itu merupakan nama Islam. Memang, gagasan tentang penyelamat terakhir merupakan suatu gagasan yang usianya setua agama itu sendiri. Seperti dikutip oleh Henry Corbin, bahwa esoterisme Syi‘ah mengajarkan hierarki mistis yang tidak kasatmata. Ide dasarnya yang paling khas adalah gaiban (gaybah) atau absennya imam.
Muhammad al-Mahdi, dipercaya golongan ini diberikan Tuhan kehidupan panjang sampai akhir dunia, tetapi ia berada dalam alam gaib. Imam Mahdi hidup sebagaimana Elijah, yang menurut kepercayaan Yahudi diangkat ke surga dan hidup di sana. Pada akhirnya, perdebatan mengenai kemunculan al-Mahdi mendorong para pemikir dan agamawan untuk memberikan penafsiran tentang Mahdi atau Messiah “Sang Juru Selamat“. Di antara tanda-tanda kemunculannya adalah ketika bumi ini telah dipenuhi dengan kerusakan, kebobrokan, ketidakadilan dan penindasan yang merajalela. Kemunculan al-Mahdi akan memenuhi bumi dengan keadilan dan persamaan (hak), dan penegakan moral.
Ishmah.
Dalam Syi‘ah, seorang Imam mempunyai tingkatan kemaksuman. Ia haruslah seseorang yang memiliki sifat maksum, karena seorang yang mendapat tugas membawa amanat Allah Swt., jika tidak bersifat maksum maka akan timbul keraguan atas kebenaran risalah atau amanah yang dibawanya.
Doktrin ishmah merupakan proses pengembangbiakan dari hadis Gadir Khumm. Ajaran ini berkenaan dengan prasyarat imamah yang menyatakan, bahwa seorang Imam sama sekali tidak dapat dicela, sifat dan tindakan-tindakannya menempatkan ia di atas derajat orang-orang biasa. Dia merupakan legislator sekaligus eksekutor, tetapi tindakannya tidak pernah dipertanyakan. Dia adalah tolak ukur baik dan buruk, apa yang dilakukannya adalah baik, apa yang dilarangnya adalah buruk. Ia merupakan pemimpin rohani sejati, kewenangan rohaninya mengungguli kewenangan Paus dalam gereja Katholik.
Dengan kata lain, bahwa seorang imam adalah orang yang menjalankan fungsi wilayah, mempertahankan dan menjamin kesinambungan hukum agama dengan bantuan cahaya ke-Tuhanan dalam dirinya. Oleh karena itu, sebagai akibat dari adanya cahaya ke-Tuhanan dalam dirinya, imam mempunyai potensi untuk tidak melakukan kesalahan dalam soal-soal spiritual dan keagamaan.
Taqiyyah
Secara etimologi, kata taqiyyah berasal dari bahasa Arab, dari akar kata waqa-yaqi yang berarti melindungi atau menjaga diri. Dari terjemahan tersebut, maka praktek taqiyyah diartikan dengan seseorang yang menyembunyikan agamanya atau beberapa praktek tertentu dari agamanya dalam keadaan yang mungkin atau pasti akan menimbulkan bahaya sebagai akibat tindakan-tindakan dari orang-orang yang menentang agamanya atau praktek-praktek keagamaan tertentu.
Dalam prakteknya, kadang taqiyyah telah menjadi norma atau perilaku umum setiap kali terjadi konflik antara iman dan kebutuhan. Kaum modernis Syi‘ah menyatakan, bahwa taqiyyah kadang-kadang merosot menjadi dalih bagi kemunafikan dan kepengecutan yang nyata.
Marja’iyyah
Marja’iyyah, yang kemudian menjelma ke dalam Wilayat al-Faqih, merupakan sebuah doktrin keagamaan yang juga menduduki posisi sentral dalam Syi‘ah. Karena doktrin tersebut nantinya akan menentukan bagaimana masyarakat akan menjalani sebuah pemahaman keagamaan, baik yang bersifat ta’abbudi maupun i’tiqadi.
Konsep Marja’iyyah ialah proses pelimpahan tanggungjawab kepemimpinan kepada para fuqaha yang bersifat adil dan mempunyai kemampuan memimpin dari Imam Mahdi. Dalam hal ini, setiap orang Syi‘ah yang tidak mampu mengambil kesimpulan hukum dalam permasalahan keagamaan sehari-hari harus merujuk kepada orang yang lebih tahu, yaitu para Ulama atau Fuqaha. Hal ini disebabkan karena para Fuqaha merupakan penerus kepemimpinan Imam Mahdi selama masa kegaibannya. Maka, wewenang atau kekuasaan yang dimiliki fuqaha terhadap umat sangat besar.
Doktrin keagamaan dalam Syi‘ah sebagaimana tersebut, selanjutnya  termanifestasikan dalam ranah kehidupan dengan berbagai aspeknya yang kemudian menghasilkan warna tersendiri bagi Syi’ah baik dalam hal politik, maupun dalam aktivitas dan ritual keagamaannya.

E.         Dinasti pendukung kekuasaan politik Syi’ah
Dalam perjalanan panjangnya, Syi’ah baik sebagai idiologi agama terlebih sebagai kekuatan politik bisa selamat dan berhasil merebak ke berbagai kolong langit, tak terlepas dari adanya dinasti-dinasti yang mendukung eksistensinya. Setidaknya, ada enam dinasti (Idrisiyyah, Fathimiyyah, zaidiyyah, buwaihiyyah, Shafawi, dan Qajar) yang menjadi pendukungnya. Berikut akan sedikit diperkenalkan ke-enam dinasti tersebut.
Dinasti Idrisiyah (789-926)[14]
Dinasti ini berkedudukan di Maroko yang didirikan oleh Muhammad bin Idris. Idris adalah cicit dari Hasa ibn Ali ibn Abi Thalib dan seorang yang beraliran Syi’ah dan memperkenalkan aliran Syi’ah melalui dinastinya. Dinasti ini sempat berkuasa dibawah pimpinan 10 orang yang dimulai dari Muhammad Idris, dan di akhiri oleh Hasan al- Hajjam.
Dinasti Fathimiyyah (909-1171)[15]
            Dalam masa berikutnya, muncul dinasti Fathimiyah dikawasan Afrika, Mesir dan Syiria. Fathimiyah adalah sekte Syiah Imamiyah yang menisbikan kecintaannya pada isteri Ali, Fathimah az-Zahra. Berbeda dengan Syi’ah lainnya yang menggunakan panggilan Imam bagi pemimpinnya, Fathimiyah justru menggunakan istilah Khalifah bagi para pemimpinnya.
            Dinasti Fathimiyyah menjadikan Kairo sebagai ibukota, dimasa Khalifah Mu’iz Lidinillah (953-975). Di kota ini telah didirkan sebuah masjid jami’ yang kemudian berkembang hingga hari ini menjadi Universitas Al-Azhar.
Dinasti Zaidiyyah (893-1962)[16]
            Zaidiyyah adalah cabang Syi’ah yang berbeda dengan lainnya dan di anggap lebih moderat, bahkan dikatakan lebih mendekati Sunni meskipun dalam hal mazhab, mereka mempunyai mazhab sendiri.
            Meskipun rincian awal sejarahnya tak jelas, namun masih dapat diketahui bahwa kekuatan politik kelompok z#aidyyah yang mandiri untuk pertama-tama dibangun ketika al-Hasan bin Zaid mendirikan Negara di Iran Utara.
Dinasti Buwaihiyyah (932-1062)[17]
 Dinasti ini memiliki wilayah yang sangat luas di Persia. Dinasti ini berasal dari tiga bersaudara, Ahmad, Ali dan Hasan anak dari Abu Suja’ Buwaih. Dimasa kekuasan bani buwaihi yang beraliran Syi’ah ini, Baghdad dijadikan sebagai pusat pemerintahan dengan membangun gedung-gedung tersendiri yang diberi nama darul mahkamah.
Dinasti Shafawi (1501-1732)
Pada mulanya sekte ini adalah suatu thariqat sufi yang bergabung dengan Syi’ah Imam duabelas. Dinasti ini berada di Azerbaijan yang didirikan oleh Ismail pada tahun 1500 dalam usia belia 16 tahun, ia menggantikan system pir (hirarki sufisme) dari thariqat kala itu. Pada tahun 1501 Ia menakhlukkan Tabriz, dan kemudian di ikuti dengan daerah lainnya pada decade berikutnya. Dia (ismail) mengatakan bahwa Syi’ah Imam duabelas akan menjadi agama resmi kerajaan barunya.
Dinasti Qajar (1796-1925)
Dinasti Qajar merupakan yang terakhir dari serangkaian dinasti kesukuan yang memerintah Iran sejak abad kesepuluh. Nama Qajar di ambil dari nama tokoh mereka yaitu Qajar Noyan, putra dari Sertaq Noyan. Dinasti Qajar telah memainkan peran penting dalam mengenalkan program meodernisasi, baik di bidang pendidikan, politik, ekonomi, maupun militer,  dan berandil besar dalam terbentuknya Iran.

BAB III
KESIMPULAN

            Syi’ah adalah golongan atau kelompok fanatic yang mendukung dan mengikuti Ali dan mengaggap bahwa Ali dan keturunannya merupakan harga mati dalam meneruskan kepemimpinan pasca meninggalnya nabi SAW.
            Awal hadirnya Syi’ah dalam coretan sejarah dimasa lalu tidaklah berciri kepercayaan atau faham agama yang khas seperti Syi’ah yang kita saksikan hari ini. Kehadiran Syiah adalah sebagai respon politik terhadap gerakan politik yang dilacarkan oleh kelompok Khawarij, dan sebagai bentuk sikap dan dukungan orang-orang terhadap Ali yang menurut mereka merupakan pemegang hak tunggal kepemimpinan pasca Nabi. Tetapi setelah periode pertama dari kaum Syi’ah ini berlalu, gerakan Syiah mengalami perkembangan baru dan terjadilah perubahan dalam haluannya. Perkembangan tersebut pada gilirannya membuat Syi’ah terbagi menjadi beberapa bahagian.
            secara umum Syi’ah terbagi kepada empat kelompok yang masing-masing terbagi pula kepada kelompok-kelompok kecil. Keempat kelompok tersebut: Syi’ah Ghulat, Syi’ah Ismailiyah, Az-Zaidiyah, Syi’ah Itsna Asy’ari.
            Dalam masalah kepemimpinan, Syi’ah menganut teori hak legitimasi berdasarkan hak suci Tuhan. Menurut mereka kekhalifahan adalah satu rukun agama yang fundamental yang disejajarkan urgensitasnya dengan al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan dalam masalah agama, Syi’ah memiliki doktrin-doktrin yang membedakannya dari yang lain, doktrin tersebut; Imamah, Mahdiisme,Ishmah, Taqiyyah, dan Marja’iyyah
            Dalam perjalanan panjangnya, eksistensi Syi’ah dipanggung sejarah hingga bisa terus hidup sampai hari ini tak lepas dari dukungan enam dinasti (Idrisiyyah, Fathimiyyah, zaidiyyah, buwaihiyyah, Shafawi, dan Qajar).

DAFTAR PUSTAKA

Fadli Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah, (Malang: UIN MALIKI PRES, 2010).
Ihsan Ilahi Zhahier, Sejarah Perttumbuhan dan Perkembangan Gerakan Syi’ah,  (Bandung: Ma’arif, 1985).
M. Abdul Karim, Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Bagaskara, 2012- cet.ke-IV).
Muhammad Baharun,  Epistemologi Antagonisme Syi’ah, (Malang; Pustaka Bayan, 2004)
M. Qurays Shihab, Syi’ah dan Sunni Bergandengan Tangan, Mungkinkah?, (Jakarta; Lentera Hati, 2007).
Nourouzzaman Shiddiqi, Drs, MA, Syi’ah dan Khawarij Dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta: PLP2M, 1985).



[1] Nourouzzaman Shiddiqi, Drs, MA, Syi’ah dan Khawarij Dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), cet. ke-1, hlm. 2.
[2] Fadli Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah, (Malang: UIN MALIKI PRES, 2010), hlm. 19.
[3] Ibid.
[4] Nourouzzaman, Syi’ah, hlm. 6.
[5] Ja’fari, Syi’ah, hlm. 27.
[6] Ibid, hlm. 28.
[7] M. Abdul Karim, Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Bagaskara, 2012- cet.ke-IV), hlm. 107.
[8] Nourouzzaman, Syi’ah, hlm. 10.
[9] Karim, Sejarah, hlm. 109.
[10] Ihsan Ilahi Zhahier, Sejarah Perttumbuhan dan Perkembangan Gerakan Syi’ah, (Bandung: Ma’arif, 1985), hlm. 43.
[11] M. Qurays Shihab, Syi’ah dan Sunni Bergandengan Tangan, Mungkinkah?, (Jakarta; Lentera Hati, 2007), hlm. 69-70.
[12] Ibud, hlm. 72.
[13] Ibid, hlm. 83.
[14] Muhammad Baharun,  Epistemologi Antagonisme Syi’ah, (Malang; Pustaka Bayan, 2004), hlm. 60.
[15] Ibid.
[16] Ibid. hlm 66.
[17] Ibid, hlm. 69.

Followers

Sponsor

Flag Counter
 

Pemikir Muda | Copyright © 2011
Designed by Rinda's Templates | Picture by Wanpagu
Template by Blogger Platform