BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam hamparan luas lautan sejarah
umat Islam, perbedaan pemikiran dan ide yang pada pokoknya disebabkan perbedaan
aspirasi politik, terpecah kepada tiga golongan, yaitu Syi’ah, Khawarij, dan
Sunni atau yang lebih akrab disapa Ahlussunnah Wa Al-jama’ah. Jika boleh dikatakan,
Syia’ah merupakan kelompok sayap kanan, maka Khawarij merupakan kelompok sayap
kiri. Mereka sama-sama radikal dan ekstrim serta paradoks antara satu dan
lainnya, jika yang satu mengatakan putih maka yag lain akan mengatakan hitam.
Berbeda dengan keduanya, Sunni berada di jalur tengah dengan mengkompromikan
kedua pemikiran tersebut[1].
Dari ketiga kelompok senior dalam
dalam dunia Islam ini, dengan mengabaikan perpecahan pada masing-masing
kelompok, maka Sunnilah yang paling banyak pengikutnya, kemudian Syi’ah dan
yang terkecil adalah Khawarij. Kendati tidak sebanyak Sunni dalam jumlah
pengikut, bukan berarti keduanya (Syi’ah dan Khawarij) tidak memiliki peran
dalam lintas panjang sejarah umat Islam. Keduanya bahkan menambah corak dan
warna tersendiri dalam potret Islam dari masa kemasa.
Karenanya, mengkaji sejarah keduanya
menjadi hal yang cukup menarik untuk dilakukan. Selain karena keduanya masih
memiliki pengikut hingga saat ini, keduanya juga berasal dari rahim yag sama;
yaitu pandangan terhadap sayyidina Ali. Jika Syiah menjadi barisan yang pro dan
setia terhadap Ali, Khawarij justru barisan yang memisahkan diri dan kontra
terhadap Ali. Selain alasan tersebut, dalam konteks Indonesia, masih cukup
segar dalam ingatan ketika media seperti kompak dalam menyoroti tragedi sampang
Madura terkait pembantaian kaum syiah. Karenanya, mengkaji Syi’ah dalam
berbagai aspek seperti sejarah kelahiran, perkembangan, politik dan teologi
menjadi hal yang urgen untuk dilakukan dan diskusikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pengertian
Syi’ah
Kata
Syi’ah (الشيعة) bentuk tunggalnya adalah Syi’iy (شيعى) yang berarti
Kelompok
atau golongan, dapat digunakan untuk seorang, dua orang atau jamak baik pria
maupun wanita.[2]
Sedangkan menurut Ahmad al-Waili,
Syiah menurut bahasa adalah pengikut atau pembantu. Pengertian ini sama dengan
pengertian yang dikemukan Abd al-Qadir Syihab al-Hamdi guru besar pada
Universitas Islam di Madina, yang menyatakan: “Syi’ah dalam percakapan orang
arab berarti pengikut atau pembantu.[3]
Kata Syi’ah Sendiri pernah beberapa
kali disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti pada QS al-Shaffat ayat 83.
* cÎ)ur `ÏB ¾ÏmÏGyèÏ© zNÏdºtö/Z} ÇÑÌÈ
dan
Sesungguhnya Ibrahim benar-benar Termasuk golongannya (Nuh).
Selanjutnya, kata Syi’ah kemudian
menjurus kepada sekelompok orang yang menjadi pengikut dan pendukung Ali ibn
Abi Thalib ra. Dalam pengertian ini asy-Syahrastani sebagaimana di kutip
Nourouzzaman Ash-shiddiqi memberikan batasan bahwa Syi’ah adalah nama kelompok
bagi mereka yang menjadi pengikut Ali ra, dan berpendirian bahwa keimanan atau
kekhalifahan itu adalah berdasarkan
pengangkatan dan pendelegasian, baik yang dilakukan secara terbuka maupun yang
dilakukan secara tersembunyi atau rahasia dan mereka yang percaya bahwa
keimaman itu tidaklah terlepas dari anak keturunan Ali ra.[4]
Dari pengertian tersebut diatas
dapat dipahami bahwa Syi’ah adalah golongan atau kelompok fanatic yang
mendukung dan mengikuti Ali dan mengaggap bahwa Ali dan keturunannya merupakan
harga mati dalam meneruskan kepemimpina pasca meninggalnya Nabi SAW.
B. Sejarah Kelahiran Syi’ah
Ide tentang hak Ali dan anak
keturunannnya untuk meneruskan estafet kepemimpinan umat Islam sebagai khalifah
atau imam pasca wafatnya Nabi telah ada sesa’at setelah wafatnya Nabi. Bagi
kaum Syi’ah, pangkal dari kepercayaan tentang sahnya Ali sebagai penerus nabi
adalah persitiwa Ghadir Khum.
Kaum Syiah bekeyakinan bahwa
sebenarnya Nabi telah menunjuk calon penggantinya, dan calon tersebut adalah
Ali ra. Menurut mereka penunjukan tersebut dilakukan Nabi dalam perjalanannya
kembali dari haji Wada’, pada tanggal delapan belas Dzulhijjah tahun kesebelas
Hijriah (623 M) di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum (kolam Khum), dimana
Nabi telah membuat pernyataan bersejarah yang telah diriwayatkan dalam berbagai
versi.[5]
Hadits
tentag Ghadir Khum tersebut :
“Kurasa
seakan-akan segera akan dipanggil Allah dan segera pula memenuhi paggilan itu.
Dan sesungguhnya Aku meningalkan kepadamu al-Tsaqalain, yang satu lebih besar
dari yang kedua : yaitu Kitab Allah dan ‘ithoh Ku. Jagalah baik-baik kedua
peninggalan-Ku itu, sebab keduanya tak akan terpisah sehingga berkumpul kembali
dengan-Ku di al-Haudh. Kemudian beliau berkata lagi, sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla adalah maula-Ku, dan Aku adalah maula bagi setiap mukmin. Lalu beliau
mengangkat tangan Ali ibn ABi Thalib, dan bersabda; barangsiapa yang menganggap-Ku
sebagai pemimpin, maka dia ini (Ali) adalah pemimpin baginya. Ya Allah
cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya.[6]
Kata maula dan wali dalam hadits
diatas memiliki beberapa pengertian seperti : pendukung, penolong, kawan karib,
pecinta, pemimpin dan lainnya. Disinilah kemudian perbedaan paham muncul,
sebahagian umat yang kemudian disebut Sunni setelah mengakui keshahihan hadits
tersebut mengartikan maula sebagai yang dicintai, seperti wali Allah yang
berarti dicintai Allah. Dan sebahagian lainnya yang kemudian disebut Syi’ah
memandang bahwa maula atau wali dalam hadits tersebut adalah yang memiliki
otoritas kekuasaan dan harus di ikuti kepemimpinannya.
Dengan demikian dapatlah dipahami
bila orang-orang Syi’ah begitu meyakini bahwa Ali adalah pemegang tunggal
estafet kepemimpinan umat Islam saat itu pasca wafatnya Nabi (12 Rabi’ul awal
10 H / 08 Juni 632 M). namun kenyataannya hal itu tidak langsung terwujud.
Setelah terjadinya perdebatan yang sengit di Tsaqifah bani Sa’adah, akhirnya
secara aklamasi diambillah suatu kesepakatan, mem-bai’at Abu Bakar sebagai
Khalifah dengan pertimbangan senioritas, di mana pada saat itu syarat utama
menjadi al-mala’ (DPR) dan Nadi al-qaum adalah minimal berusia 40 tahun. Dalam
pertemuan ini, Ali yang oleh Syi’ah di harapkan menjadi Imam justru tidak
hadir. Ia tahu persis bahwa Ia tidak akan dipilih karena belum berusia 40
tahun.
Setelah dua tahun kepemimpinan Abu
Bakar (632-634 M), ke-Khalifahan kemudian dijabat Oleh Umar ibn Khattab selama
sepuluh tahun sejak 634 M sampai dengan 644 M. dan dilanjutkan oleh Utsman ibn
Affan (644-656) hingga kemudian ia wafat terbunuh.
Setelah wafatnya Utsman, ditengah
kegentingan yang terjadi saat itu, orang-orang yang terlibat baik secara
langsung maupun tidak terhadap terbunuhnya Utsman menunjuk Ali ibn Abi thalib
sebagai Khalifah. Meski sempat menolak dan mengusulkan Talha dan Zubair karna
pertimbangan senioritas, Ali akhirnya menerima tawaran/penunjukan itu sehingga
kemudian terpilih sebagai Khalifah di hari keenam pasca terbunuhnya Utsman.
Pada masa-masa awal
ke-khalifahannya, Ali langsung dihadapkan kepada berbagai persoalan hingga
harus berakhir dengan peperangan, seperti perang Jamal (9 Desember 656 M). Yakni
peperangan antara khalifah Ali dengan gabungan pemberontak yang juga di ikuti
oleh ‘Aisyah yang menuntut pengusutan kasus terbunuhnya Utsman ra. Selanjutnya
pada tanggal 26 juli 657 M, Ali kembali dihadapkan pada peperangan yang dikenal
dengan nama perang Siffin, yang mempertemukan kekeuatan Mua’awiyah dan Ali.
Dalam perang ini, atas usulan Amr ibn al-Ash, Mu’awwiyah menawarkan perdamaian
dengan mengangkat Al-Qur’an, akhirnya perang berhenti. Peristiwa ini disebut tahkim.[7]
Tawaran Mu’awiyah disambut baik oleh
Ali yang kemudian menghentikan perang, padahal pada saat itu Ali dan pasukannya
sudah hampir memenangkan peperangan. inilah kemudian yang memicu kekecewaan
sebahagian pasukan Ali, hingga akhirnya melahirkan kelompok Khawarij yang
dipimpin oleh Abdullah ibn Wahab al-Rasyibi. Dimana selanjutnya kelompok
tersebut banyak membuat huruhara, sehingga diambil tindakan oleh Ali untuk
memeranginya yang dikenal dengan nama perang Nahrwan, yang berujung pada
pembunuhan Ali oleh ibn Muljam pada tanggal 24 Januari 661 M.
Pasca wafatnya Ali tersebut,
terjadilah pertarungan berebut kekuatan politik antara pendukung-pendukung Ali,
pendukung Muawiyah, dan barisan yang kontra terhadap keduanya. Pendukung Ali
menuntut agar ke-Khalifan tetap di pegang oleh ahli bait, dan untuk
merealisasikan itu mereka mengangkat Hasan sebagai Khalifah. Inilah yang mejadi
awal doktrin politik Syiah.[8]
walaupun bibit Syi’ah telah ada saat
pemilihan khalifah Abu Bakar namun dalam catatan sejarah Islam, mulai munculnya
Syi’ah adalah setelah wafatnya Ali ibn Abi Thalib, dan karena adanya rivalitas
politik dari kelompok Khawarij.[9]
Selanjutnya, setelah peristiwa dibunuhnya Husain ibn Ali di padang Karbala (10
Okteber 680 M), barulah kemudian Syiah menjelma menjadi sebuah kekuatan politik
yang utuh secara “de jure”.
Dengan demikian jelaslah bahwa awal
hadirnya Syi’ah dalam coretan sejarah dimasa lalu tidaklah berciri kepercayaan
atau faham agama yang khas seperti Syi’ah yang kita saksikan hari ini.
Kehadiran Syiah adalah sebagai respon politik terhadap gerakan politik yang
dilacarkan oleh kelompok Khawarij, dan sebagai bentuk sikap dan dukungan
orang-orang terhadap Ali yang menurut mereka merupakan pemegang hak tunggal
kepemimpinan pasca Nabi. Tetapi setelah periode pertama dari kaum Syi’ah ini
berlalu, gerakan Syiah mengalami perkembangan baru dan terjadilah perubahan
dalam haluannya.[10]
Perkembangan tersebut pada gilirannya membuat Syi’ah terbagi menjadi beberapa
bahagian.
C. Kelompok dalam Syi’ah
Kendati Syi’ah telah terbagi-bagi
dalam kelompok yang jumlahnya hampir tidak terhitung, tetapi menurut Al-Baghdawi
sebagaimana dikutip M. Qurays Shihab dalam “Syi’ah dan Sunni bergandengan
Tangan, Mungkinkah?” mengatakan bahwa secara umum Syi’ah terbagi kepada empat
kelompok yang masing-masing terbagi pula kepada kelompok-kelompok kecil.[11]
Keempat kelompok tersebut:
Syi’ah
Ghulat (ekstrim)
Syi’ah Ghulat merupakan kelompok
yang memiliki sikap berlebihan terhadap Ali, sehingga Ali sampai ditempatkan
pada posisi Nabi, atau lebih tinggi dari Nabi, bahkan ada yang menempatkannya
sebagai Tuhan.
Kelompok
ini terbagi menjadi beberapa bahagian, Pertama As-Sabaiyah: mereka adalah
pengikut Abdullah ibn Saba’, yang konon katanya sempat sampai menuhankan Ali. Kedua
Al-Khathabiyah: mereka adalah golongan Syi’ah yang menyatakan bahwa Imam Ja’far
Ash-Shodiq adalah Tuhan. Ketiga Al-Ghurabiyah: mereka adalah kelompok yang
mengutuk malaikat jibril karena menganggapnya telah keliru menyampaikan wahyu
kepada Muhammad yang seharusnya diberikan kepada Ali. Keempat Al-Qaramithah:
kelompok ini cukup ekstrim, selain karena menuhanan Ali, mereka juga
membatalkan kewajiban Sholat dan Puasa Ramadhan.
Syi’ah
Ismailiyah
Kelompok ini meyakini bahwa Ismail,
putra Imam Ja’far ash-Shadiq, adalah imam yang menggantikan ayahnya, yang
merupakan imam keenam dari aliran Syi’ah secara umum.[12]
Az-Zaidiyah
Kelompok ini adalah kelompok Syi’ah
pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi
Thalib ra. Syi’ah Zaidiyah menetapkan bahwa Imamah dapat diemban oleh siapapun
yang memiliki garis keturunan Fathimah binti Muhammad SAW. Baik dari garis
Hasan, maupun Husain, dengan catatan harus memiliki kemampuan, keilmuan dan
keberanian dalam mengangkat senjata melawan kezaliman.
Syi’ah
Itsna Asy’ari
Kelompok ini ialah mereka yang
mempercayai akan adanya duabelas orang imam yang kesemuanya dari keturunan Ali
bin Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra, putrid Rasulullah SAW. Kelompok ini
merupakan kelompok Syi’ah mayoritas yang tersebar di Iran, Irak serta ditemukan
juga dibeberapa daerah di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, juga disaudi Arabia,
dan beberapa daerah bekas Uni Soviet.[13]
D. Teori Politik dan Doktrin Agama syi’ah
Dalam kajian sejarah pemikiran
Islam, sulit rasanya untuk membicarakan secara terpisah antara teori politik
dan doktrin agama. Sebab Islam itu sendiri tidak mengenal pemisahan antara
keduanya. Dalam rentetan panjang sejarah islam, interaksi antara keduanya
sangat erat, terkhusus bagi Syi’ah. Sebab Syi’ah selalu berupaya keras mencari
dukungan agama untuk mendukung teori politik yang mereka anut.
Dalam masalah kepemimpinan, Syi’ah
menganut teori hak legitimasi berdasarkan hak suci Tuhan. Dan tuhan telah
mendelegasikan hak suci-Nya kepada para nabi, dan nabi Muhammad telah
mewasiatkannya kepada Ali, maka Ali lah pemegang hak penuh atas kepemimpinan
pasca Nabi. Imam atau Khalifah perspektif Syi’ah bukanlah sebatas kelayakan
politik semata, namun imam adalah kepentingan agama. Menurut mereka
kekhalifahan adalah satu rukun agama yang fundamental yang disejajarkan
urgensitasnya dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Mengingat kedudukan imam/khalifah
yang begitu mulia dan agung, penting serta tinggi, maka menurut kepercayaan
orang-orang Syi’ah, tidaklah sepantasnya masalah pemilihan dan pengangkatannya
dipercayakan pada orang banyak yang bukan Nabi, atau orang pilihan Nabi, tetapi
haruslah diangkat oleh Tuhan melalui Nabi, atau melalui Ali, atau oleh seorang
Imam yang mendahului sebagai pemangku hak suci. Dengan demikian, menurut Syi’ah
pengangkatan Imam itu adalah hak suci Tuhan, bukan berdasarkan prinsip
pemilihan demokratis. Bahkan pada golongna Syi’ah waqifiyah berpendirian bahwa,
bukan saja seorang imam itu diangkat oleh imam sebelumnya, bahkan ruh imam yang
sebelumnya itu berpindah ke diri imam yang diangkatnya.
Kendati demikian, tidak semua
golongan Syi’ah sependapat dengan doktrin agama tentang keimaman seperti
tersebut diatas, golongan zaidiyah menolak doktrin nash-washiyat. Mereka
(Syi’ah Zaidiyah) berpendapat bahwa, imam itu harus dipilih berdasarkan
criteria, berilmu, bertaqwa, murah tangan, berani dan berhasrat untuk menjabat
posisi imam, dengan catatan orang tersebut masih berada dibawah garis keturunan
Ali ibn Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra binti Muhammad SAW.
Selanjutnya, Untuk mendudukkan
Syi’ah dalam koridor yang ada maka perlu dikemukakan doktrin keagamaan yang ada
dan di anut dalam tradisi Syi’ah. Dari konteks keagamaan inilah kemudian
diturunkan ke dalam konteks sosial seperti politik dan lainnya. Doktrin
ke-agamaan tersebut:
Imamah
Doktrin Syi‘ah tentang Imamah, berangkat
dari keyakinan akan penunjukan Nabi atas diri ‘Ali sebagai khalifah
penggantinya dengan penunjukan yang jelas berdasarkan hadits ghadir khum. Di
dalamnya termaktub adanya fungsi spiritual dalam diri penerus Nabi dari
kalangan ahl al-bait yang berhubungan dengan penafsiran esoterik
tentang wahyu dan kelangsungan ajaran esoterik Nabi.
Dalil dan paham Imamah didasarkan
pada Q.S. Yunus (10): 35. Q.S. al-Maidah 5: 55). Adapun hadis yang
menjadi dasar doktrin imamah adalah hadis ghadir khum yang
dikumandangkan Nabi ketika haji wada’, yang dikutip langsung sebagai dalil
untuk mendukung hak ‘Ali atas khilafah. Doktrin Imamah juga dipahami sebagai
contoh dari upaya awal untuk merumuskan struktur politik dalam kerangka hukum,
serta memberikan suatu teori politik yang koheren. Akan tetapi, prinsip dasar
tentang suksesi yang dikemukakan oleh doktrin ini tidak pernah diterima secara
universal, dan tetap menjadi harapan eskatologis yang tak realistik.
Mahdiisme
Dalam
akidah Syiah, kemunculan Imam Mahdi adalah permasalahan yang sudah pasti,
persis dengan ungkapan akan munculnya Yaum al-Mau’ud (hari kiamat).
Hari yang dijanjikan dengan kemunculan Imam Mahdi adalah langkah awal untuk
menuju hari akhir yang telah dijanjikan Allah.
Gagasan
tentang Mahdi tidak semata-mata dimonopoli oleh Islam, meskipun nama Mahdi itu
merupakan nama Islam. Memang, gagasan tentang penyelamat terakhir merupakan
suatu gagasan yang usianya setua agama itu sendiri. Seperti dikutip oleh
Henry Corbin, bahwa esoterisme Syi‘ah mengajarkan hierarki mistis yang tidak
kasatmata. Ide dasarnya yang paling khas adalah gaiban (gaybah) atau
absennya imam.
Muhammad
al-Mahdi, dipercaya golongan ini diberikan Tuhan kehidupan panjang sampai akhir
dunia, tetapi ia berada dalam alam gaib. Imam Mahdi hidup sebagaimana Elijah,
yang menurut kepercayaan Yahudi diangkat ke surga dan hidup di sana. Pada
akhirnya, perdebatan mengenai kemunculan al-Mahdi mendorong para pemikir dan
agamawan untuk memberikan penafsiran tentang Mahdi atau Messiah “Sang Juru
Selamat“. Di antara tanda-tanda kemunculannya adalah ketika bumi ini telah
dipenuhi dengan kerusakan, kebobrokan, ketidakadilan dan penindasan yang
merajalela. Kemunculan al-Mahdi akan memenuhi bumi dengan keadilan dan persamaan
(hak), dan penegakan moral.
Ishmah.
Dalam
Syi‘ah, seorang Imam mempunyai tingkatan kemaksuman. Ia haruslah seseorang yang
memiliki sifat maksum, karena seorang yang mendapat tugas membawa amanat Allah
Swt., jika tidak bersifat maksum maka akan timbul keraguan atas kebenaran
risalah atau amanah yang dibawanya.
Doktrin ishmah merupakan
proses pengembangbiakan dari hadis Gadir Khumm. Ajaran ini berkenaan dengan
prasyarat imamah yang menyatakan, bahwa seorang Imam sama sekali
tidak dapat dicela, sifat dan tindakan-tindakannya menempatkan ia di atas
derajat orang-orang biasa. Dia merupakan legislator sekaligus eksekutor, tetapi
tindakannya tidak pernah dipertanyakan. Dia adalah tolak ukur baik dan buruk,
apa yang dilakukannya adalah baik, apa yang dilarangnya adalah buruk. Ia
merupakan pemimpin rohani sejati, kewenangan rohaninya mengungguli kewenangan
Paus dalam gereja Katholik.
Dengan
kata lain, bahwa seorang imam adalah orang yang menjalankan fungsi wilayah,
mempertahankan dan menjamin kesinambungan hukum agama dengan bantuan cahaya
ke-Tuhanan dalam dirinya. Oleh karena itu, sebagai akibat dari adanya cahaya
ke-Tuhanan dalam dirinya, imam mempunyai potensi untuk tidak melakukan
kesalahan dalam soal-soal spiritual dan keagamaan.
Taqiyyah
Secara
etimologi, kata taqiyyah berasal dari bahasa Arab, dari akar kata waqa-yaqi yang
berarti melindungi atau menjaga diri. Dari terjemahan tersebut, maka praktek taqiyyah diartikan
dengan seseorang yang menyembunyikan agamanya atau beberapa praktek tertentu dari
agamanya dalam keadaan yang mungkin atau pasti akan menimbulkan bahaya sebagai
akibat tindakan-tindakan dari orang-orang yang menentang agamanya atau
praktek-praktek keagamaan tertentu.
Dalam
prakteknya, kadang taqiyyah telah menjadi norma atau perilaku
umum setiap kali terjadi konflik antara iman dan kebutuhan. Kaum modernis
Syi‘ah menyatakan, bahwa taqiyyah kadang-kadang merosot menjadi dalih
bagi kemunafikan dan kepengecutan yang nyata.
Marja’iyyah
Marja’iyyah, yang
kemudian menjelma ke dalam Wilayat al-Faqih, merupakan sebuah doktrin
keagamaan yang juga menduduki posisi sentral dalam Syi‘ah. Karena doktrin
tersebut nantinya akan menentukan bagaimana masyarakat akan menjalani sebuah
pemahaman keagamaan, baik yang bersifat ta’abbudi maupun i’tiqadi.
Konsep
Marja’iyyah ialah proses pelimpahan tanggungjawab kepemimpinan kepada para
fuqaha yang bersifat adil dan mempunyai kemampuan memimpin dari Imam Mahdi.
Dalam hal ini, setiap orang Syi‘ah yang tidak mampu mengambil kesimpulan hukum
dalam permasalahan keagamaan sehari-hari harus merujuk kepada orang yang lebih
tahu, yaitu para Ulama atau Fuqaha. Hal ini disebabkan karena para Fuqaha
merupakan penerus kepemimpinan Imam Mahdi selama masa kegaibannya. Maka,
wewenang atau kekuasaan yang dimiliki fuqaha terhadap umat sangat besar.
Doktrin
keagamaan dalam Syi‘ah sebagaimana tersebut, selanjutnya termanifestasikan dalam ranah kehidupan dengan
berbagai aspeknya yang kemudian menghasilkan warna tersendiri bagi Syi’ah baik
dalam hal politik, maupun dalam aktivitas dan ritual keagamaannya.
E. Dinasti pendukung kekuasaan politik
Syi’ah
Dalam
perjalanan panjangnya, Syi’ah baik sebagai idiologi agama terlebih sebagai
kekuatan politik bisa selamat dan berhasil merebak ke berbagai kolong langit,
tak terlepas dari adanya dinasti-dinasti yang mendukung eksistensinya.
Setidaknya, ada enam dinasti (Idrisiyyah, Fathimiyyah, zaidiyyah, buwaihiyyah,
Shafawi, dan Qajar) yang menjadi pendukungnya. Berikut akan sedikit
diperkenalkan ke-enam dinasti tersebut.
Dinasti
Idrisiyah (789-926)[14]
Dinasti
ini berkedudukan di Maroko yang didirikan oleh Muhammad bin Idris. Idris adalah
cicit dari Hasa ibn Ali ibn Abi Thalib dan seorang yang beraliran Syi’ah dan
memperkenalkan aliran Syi’ah melalui dinastinya. Dinasti ini sempat berkuasa
dibawah pimpinan 10 orang yang dimulai dari Muhammad Idris, dan di akhiri oleh
Hasan al- Hajjam.
Dinasti
Fathimiyyah (909-1171)[15]
Dalam masa berikutnya, muncul
dinasti Fathimiyah dikawasan Afrika, Mesir dan Syiria. Fathimiyah adalah sekte
Syiah Imamiyah yang menisbikan kecintaannya pada isteri Ali, Fathimah az-Zahra.
Berbeda dengan Syi’ah lainnya yang menggunakan panggilan Imam bagi pemimpinnya,
Fathimiyah justru menggunakan istilah Khalifah bagi para pemimpinnya.
Dinasti Fathimiyyah menjadikan Kairo
sebagai ibukota, dimasa Khalifah Mu’iz Lidinillah (953-975). Di kota ini telah
didirkan sebuah masjid jami’ yang kemudian berkembang hingga hari ini menjadi
Universitas Al-Azhar.
Dinasti
Zaidiyyah (893-1962)[16]
Zaidiyyah adalah cabang Syi’ah yang
berbeda dengan lainnya dan di anggap lebih moderat, bahkan dikatakan lebih
mendekati Sunni meskipun dalam hal mazhab, mereka mempunyai mazhab sendiri.
Meskipun rincian awal sejarahnya tak
jelas, namun masih dapat diketahui bahwa kekuatan politik kelompok z#aidyyah
yang mandiri untuk pertama-tama dibangun ketika al-Hasan bin Zaid mendirikan
Negara di Iran Utara.
Dinasti
Buwaihiyyah (932-1062)[17]
Dinasti ini memiliki wilayah yang sangat luas
di Persia. Dinasti ini berasal dari tiga bersaudara, Ahmad, Ali dan Hasan anak
dari Abu Suja’ Buwaih. Dimasa kekuasan bani buwaihi yang beraliran Syi’ah ini,
Baghdad dijadikan sebagai pusat pemerintahan dengan membangun gedung-gedung
tersendiri yang diberi nama darul mahkamah.
Dinasti
Shafawi (1501-1732)
Pada
mulanya sekte ini adalah suatu thariqat sufi yang bergabung dengan Syi’ah Imam
duabelas. Dinasti ini berada di Azerbaijan yang didirikan oleh Ismail pada
tahun 1500 dalam usia belia 16 tahun, ia menggantikan system pir (hirarki
sufisme) dari thariqat kala itu. Pada tahun 1501 Ia menakhlukkan Tabriz, dan
kemudian di ikuti dengan daerah lainnya pada decade berikutnya. Dia (ismail)
mengatakan bahwa Syi’ah Imam duabelas akan menjadi agama resmi kerajaan
barunya.
Dinasti
Qajar (1796-1925)
Dinasti
Qajar merupakan yang terakhir dari serangkaian dinasti kesukuan yang memerintah
Iran sejak abad kesepuluh. Nama Qajar di ambil dari nama tokoh mereka yaitu
Qajar Noyan, putra dari Sertaq Noyan. Dinasti Qajar telah memainkan peran
penting dalam mengenalkan program meodernisasi, baik di bidang pendidikan,
politik, ekonomi, maupun militer, dan
berandil besar dalam terbentuknya Iran.
BAB
III
KESIMPULAN
Syi’ah adalah golongan atau kelompok
fanatic yang mendukung dan mengikuti Ali dan mengaggap bahwa Ali dan
keturunannya merupakan harga mati dalam meneruskan kepemimpinan pasca
meninggalnya nabi SAW.
Awal hadirnya Syi’ah dalam coretan
sejarah dimasa lalu tidaklah berciri kepercayaan atau faham agama yang khas
seperti Syi’ah yang kita saksikan hari ini. Kehadiran Syiah adalah sebagai
respon politik terhadap gerakan politik yang dilacarkan oleh kelompok Khawarij,
dan sebagai bentuk sikap dan dukungan orang-orang terhadap Ali yang menurut
mereka merupakan pemegang hak tunggal kepemimpinan pasca Nabi. Tetapi setelah
periode pertama dari kaum Syi’ah ini berlalu, gerakan Syiah mengalami
perkembangan baru dan terjadilah perubahan dalam haluannya. Perkembangan
tersebut pada gilirannya membuat Syi’ah terbagi menjadi beberapa bahagian.
secara umum Syi’ah terbagi kepada
empat kelompok yang masing-masing terbagi pula kepada kelompok-kelompok kecil.
Keempat kelompok tersebut: Syi’ah Ghulat, Syi’ah Ismailiyah, Az-Zaidiyah,
Syi’ah Itsna Asy’ari.
Dalam masalah kepemimpinan, Syi’ah
menganut teori hak legitimasi berdasarkan hak suci Tuhan. Menurut mereka
kekhalifahan adalah satu rukun agama yang fundamental yang disejajarkan
urgensitasnya dengan al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan dalam masalah agama,
Syi’ah memiliki doktrin-doktrin yang membedakannya dari yang lain, doktrin
tersebut; Imamah, Mahdiisme,Ishmah, Taqiyyah, dan Marja’iyyah
Dalam perjalanan panjangnya,
eksistensi Syi’ah dipanggung sejarah hingga bisa terus hidup sampai hari ini
tak lepas dari dukungan enam dinasti (Idrisiyyah, Fathimiyyah, zaidiyyah,
buwaihiyyah, Shafawi, dan Qajar).
DAFTAR
PUSTAKA
Fadli
Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah, (Malang: UIN MALIKI PRES, 2010).
Ihsan
Ilahi Zhahier, Sejarah Perttumbuhan dan Perkembangan Gerakan Syi’ah, (Bandung: Ma’arif, 1985).
M.
Abdul Karim, Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Bagaskara,
2012- cet.ke-IV).
Muhammad
Baharun, Epistemologi Antagonisme
Syi’ah, (Malang; Pustaka Bayan, 2004)
M.
Qurays Shihab, Syi’ah dan Sunni Bergandengan Tangan, Mungkinkah?, (Jakarta;
Lentera Hati, 2007).
Nourouzzaman
Shiddiqi, Drs, MA, Syi’ah dan Khawarij Dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta:
PLP2M, 1985).
[1] Nourouzzaman Shiddiqi, Drs, MA, Syi’ah dan Khawarij Dalam Perspektif
Sejarah, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), cet. ke-1, hlm. 2.
[2] Fadli Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah, (Malang: UIN MALIKI PRES,
2010), hlm. 19.
[3] Ibid.
[4] Nourouzzaman, Syi’ah, hlm. 6.
[5] Ja’fari, Syi’ah, hlm. 27.
[6] Ibid, hlm. 28.
[7] M. Abdul Karim, Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam, (Yogyakarta:
Bagaskara, 2012- cet.ke-IV), hlm. 107.
[8] Nourouzzaman, Syi’ah, hlm. 10.
[9] Karim, Sejarah, hlm. 109.
[10] Ihsan Ilahi Zhahier, Sejarah Perttumbuhan dan Perkembangan
Gerakan Syi’ah, (Bandung: Ma’arif, 1985), hlm. 43.
[11] M. Qurays Shihab, Syi’ah dan Sunni Bergandengan Tangan,
Mungkinkah?, (Jakarta; Lentera Hati, 2007), hlm. 69-70.
[12] Ibud, hlm. 72.
[13] Ibid, hlm. 83.
[14] Muhammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah, (Malang;
Pustaka Bayan, 2004), hlm. 60.
[15] Ibid.
[16] Ibid. hlm 66.
[17] Ibid, hlm. 69.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar